Sejarah Pendidikan Nasinal di Indonesia - Pendidikan di Indonesia Sebelum Kemerdekaan Pendidikan diindonesia padazaman sebelum kemerdekaan dapat digolongkan kedalam tiga periode, yaitu: 1) pendidikan yang berlandaskan ajaran keagamaan; 2) pendidikan yang berlandaskan kepentingan penjajah; dan 3) pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan.
A. Pendidikan Hindu-Budha
Ajaran hindu dan Budha memberikan corak pada praktek pendidikan di Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Kalimantan (Kutai), Pulau Jawa (Tarumanegara hingga Majapahit), Bali dan Sumatera (Sriwijaya).
Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di Nusantara, sistem pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan di biara-biara atau padepokan.Pada perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan bukan hanya berupa ajaran keagamaan, melainkan ilmu pengatahuan yang meliputi sastra, bahasa, filsafat, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. Kerajaan-kerajaan Hindu di tanah Jawa banyak melahirkan para empu dan pujangga besar yang melahirkan karya-karya seni yang bermutu tinggi. Pada masa itu, pendidikan mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi dikendalikan oleh para pemuka agama. Pendidikan bercorak Hindu-Budha semakin pudar dengan jatuhnya kerajaan Majapahit pada awal abad ke-16, dan pendidikan dengan corak Islam dalam kerajaan-kerajaan Islam datang menggantikannya.
B. Pendidikan Islam
Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Di pulau Jawa, pusat penyebaran Islam membentang mulai Banten, Cirebon, Demak hingga ke Gresik. Lama kelamaan, bersamaan dengan pudarnya kerajaan-kerajaan Hindu, ajaran Islam makin berkembang dengan baik di pesisir maupun di pedalaman pulau-pulau Jawa dan Sumatera.
Di pulau Jawa dan Sumatera yang penduduknya lebih dahulu mengadakan kontak dengan pendatang dari luar Indonesia (terutama dari Cina, Indiadan Indocina), didapati pendidikan agama Islam di masa pra kolonial dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar, pendidikan di pesantren, dan pendidikan di madrasah. Praktek pendidikan di langgar dan di pesantren berbeda dengan cara mengajar di sekolah-sekolah modern yang menggunakan sistem yang formal dan berjenjang. Pendidikan di Indonesia baru mengenal sistem berjenjang yang formal sejak masuknya pengaruh Belanda. Namun hingga datangnya kolonial belanda dan bahkan hingga sekarang, ketiga corak pendidikan Islam yaitu pendidikan di langgar, pesantren, dan madrasah tetap bertahan.
C. Pendidikan Katolik dan Kristen-Protestan
Pendidikan Katolik berkembang mulai abad ke-16 melalui orang-orang Portugis yang menguasai Malaka. Misi mereka yang dikenal dengan misi suci (mission sacre) dilaksanakan bersama-sama dengan misi pencarian rempah-rempah. Segera setelah mereka menduduki suatu daerah atau pulau, usaha pertama yang dilakukannya adalah menjadikan penduduk setempatsebagai pemeluk Katolik-Roma. Kekuasaan portugis tidak berlangsung lama, hanya sekitar setengah abad, karena diusir oleh Spanyol. Kemudian Spanyol menyebarkan agama Kristen-Protestan dan mengembangkan sistem pendidikannya sendiri yang bercorak Kristen-Protestan.
D. Pendidikan pada Zaman VOC
Sebagaimana bangsa Portugis sebelumnya, kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 mula-mula untuk tujuan dagang dengan mencari rempah-rempahdengan mendirikan VOC. Misi dagang tersebut kemudian diikuti oleh misi penyebaran agama yang terutama dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang dilengkapi asrama untuk para siswa. Di sana diajarkan agama Kristen-Protestan dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, dan sebagian menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-16, VOC mendirikan sekolah di pulau-pulau Ambon, Banda, Lontar, dan Sangihe-Talaud. Pada periode berikutnya, didirikan pula sekolah-sekolah dengan jenis dan tujuan beragam. Pendirian sekolah-sekolah tersebut terutama diarahkan untuk kepentingan untuk mendukung misi VOC di Nusantara.
E. Pendidikan Pada Zaman Kolonial Belanda
Pudarnya VOC pada akhir abad ke-18 menandai masa datangnya zaman kolonial Belanda. Tugas untuk mengatur pemerintahan dan masyarakat yang sebelumnya ditangani oleh Kompeni (institusi dagang) kemuadian diambil alih oleh Pemerintah Belanda yang menjadikan Hindia-Belanda sebagai tanah jajahan.
Sistem pendidikan diubah dengan menarik garis pemisah antara sekolah Eropa dan sekolah Bumiputera. Sekolah Eropa diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan anak-anak orang Eropa di Indonesia. Sedangkan sekolah Bumiputera yang tingkatan dan prestisenya lebih rendah diperuntukkan bagi anak-anak bumiputera yang terpilih. Ada lagi sekolah Cina bagi anak-anak Cina. Mulai akhir abad ke-19 dan hingga dasawarsa awal abad ke-20 lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sangt beragam meliputi sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah raja, sekolah pertukangan, sekolah kejurauan, sekolah-sekolah khusus untuk perempuan Eropa dan pribumi, sekolah dokter, perguruan tinggi hukum, dan perguruan tinggi teknik.
F. Pendidikan Pada Masa Pendudukan Jepang
Meskipun singkat, berlangsung pada tahun 1942-1945, masa pendudukan Jepang memberikan corak yang berarti pada pendidikan di Indonesia. Tidak lama setelah berkuasa, jepang segera menghapus sistem pendidikan warisan Belanda yang didasarkan atas penggolongan menurut bangsa dan status sosial. Tingkat sekolah terendah adalah Sekolah Rakyat (SR)yang disebut dalam bahasa Jepang Kokumin Gakko, yang terbuka untuk semua golongan masyarakat tanpa membedakan status sosial dan asal-usulnya. Kelanjutannya adlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) selama tiga tahun, kemuadian Sekolah Menengah Tinggi (SMT) selama tiga tahun. Sekolah kejuruan juga dikembangkan. Sekolah Hukum dan MOSVIA yang didrikan oleh Belanda dihapuskan. Di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Sekolah Tinggi kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Perubahan lain yang sangat berarti di kemudian hari ialah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar pertama di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan, dan bahasa pengantar kedua adalah bahasa Jepang. Sementara itu, bahasa Belanda dilarang sama sekali untuk digunakan baik di sekolah-sekolah maupun di kantor-kantor, Sejak saat itu, bahasa Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa pengantar dan bahasa komunikasi ilmiah.
Tujuan utama pendidikan pada masa pendudukan Jepang diarahkan untuk mendukung pendudukan jepang dengan menyediakan tenaga kerja kasar secara cuma-cuma yang dikenal dengan romusha. Di sekolah, para siswa mengikuti latihan fisik, baris berbaris meniru tentara Dai Nippon, latihan kemiliteran disertai indoktrinasi yang intinya kesetiaan penuh pada kaisar Jepang. Pemuda-pemuda yang menapak dewasa dijadikan romusha dan sebagian direkrut untuk menjadi tentara.
2.2. Perintis Perguruan Pertama Kali di Indonesia
Ada empat perguruan yang secara kronologis pertama berdiri di Indonesia. Yaitu, Muhammadiyah, Taman Siswa, Ma’arif, dan INS Kayutanam. Keempatnya dibicarakan disini karena sama-sama merupakan tanggapan bangsa Indonesia terhadap keadaan pada masa penjajahan. Meskipun masing-masing lembaga pendidikan tersebut berdiri dengan dasar dan tujuan yang berbeda-beda, namun misi dan sifat pedagogis, nasional, politis, keagamaan, atau kombinasi nasional-pedagogis, nasional-religius, atau nasional-politis. Dari keempat perguruan tersebut, yang masih giat menyelenggarakan pendidikan dengan jangkauan yang luas di Tanah Air adalah Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Ma’arif. Sedangkan INS Kayurtanam telah hancur secara fisik pada tahun 1949.
A. Muhammadiyah
Muhammadiyah lahir dibawah pengaruh kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda yang dimulai dengaan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Dalam pemikiran keagamaan, saat itu ke Indonesia datang pula gelombang pembaharuan dalam agama islam yang bersumber dari Mesir, Arab dan India. K.H. Achmad Dahlan yang mempelajari pembaharuan-pembaharuan itu mendirikan perkumpulan Muhammadiyah. Misi Muhammadiyah untuk menyebarkan agama, kemudian membuka dan menyelenggarakan pendidikan, baik sebagai sarana untuk menerdaskan bangsa yang dibodohi oleh pemerintah Belanda maupun sebagai sarana menyebarkan syiar islam (Supriyadi, 2006 : 4.3).
Muhammadiyah didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Sekolah Muhammadiyah pertama didirikan tahun 1911, satu tahun sebelum Muhammadiyah berdiri. Dalam perkembangan kemudian, sekolah ini menjadi Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga tahun. Sebagai pendiri, K.H. Achmad Dahlan telah aktif memberikan pendidikan tentang agama dan pengetahuan lainnya kepada penduduk di sekitar kampungnya. Muhammadiyah kemudian juga mendirikan sekolah rakyat tiga tahun yang diberi nama Sekolah Kesultanan (Sultanaatschool), menyusul kemudian HIS Muhammadiyah, sekolah menengah yang dimulai dengan MULO yang diberi subsidi oleh Pemerintah Belanda, juga sebuah Algemene Middel School (AMS) dan Holland Inlandse Kweekschool. Kurikulum sekolah-sekolah Muhammadiyah di masa itu menyeimbangkan muatan pelajaran agama dan umum dengan porsi masing-masing sekitar 50%.
Dasar dari Muhammadiyah adalah pembaharuan di bidang agama yang pada hakikatnya mengikuti gerak hidup zaman dan mengeluarkan golongan Islam dari isolasi sekaligus secara positif bergerak di bidang sosial dan pendidikan.
B. Taman Siswa
Taman Siswa sejak pendiriannya mempunyai tujuan politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini jelas dari pertimbangan Ki Hajar Dewantara, pendirinya, sewaktu berada di pengasingan di Negeri Belanda untuk mendalami masalah pendidikan. Menurut Ki Hajar, rakyat Indonesia harus benar-benar menyadari arti kehidupan berbangsa dan bertanah air melalui pendidikan. Dengan mendirikan Kindertuin atau Taman Kanak-kanak yang di kalangan Taman Siswa disebut Taman Indriya, pada tanggal 3 Juli 1922. Lembaga pendidikan Taman Siswa diberi nama National Onderwijs Instituut Taman siswa dengan Taman Indriya sebagai tingkat terendah.
Pendidikan Taman Siswa selanjutnya mengakui hak-hak anak untuk bebas yang dinyatakan tidak tanpa batas. Batas itu antara lain adalah lingkungan dan kebudayaan. Pengakuan atas kebebasan anak adalah suatu prinsip pendidikan yang sangat pokok pada Taman Siswa. Prinsip demokrasi dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan penegrtian sebgaia berikut.
1. Anak dalam pendidikan merupakan pusat perhatian pendidik.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan yang terus berjalan, lingkungan anak makin luas dan segala sesuatu yang dijumpainya akan dijadikan miliknya. Hal ini kemudian melahirkan prinsip konsentris, kontinue, dan konvergen yang terkenal dengan istilah “tri-kon”
2. Musyawarah sebagai prinsip demokrasi tetapi menghargai pimpinan.
Ki Hajar Dewantara menganggap perlu ada suatu kewibawaan yang pada suatu ketika mengarah pada musyawarah dan mufakat.
3. Dasar demokrasi membawa kewajiban untuk memikul tanggung jawab.
Dasar demokrasi yang mengakui hak anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya telah melahirkan metode “among” dengan semboyan “tut wuri handayani” yang kemudian diadopsi menjadi semboyan pendidikan nasional. dasar demokrasi telah membawa Taman Siswa menjadi tidak kaku dan melahirkan prinsip hidup kekeluargaan yang dikalangan Taman Siswa dipraktekan dengan sungguh-sungguh.
Dengan gambaran di atas, maka Taman Siswa, terutama dibidang pendidikan dan kebudayaan, telah memberikan andil sangat besar terhadap pendidikan nasional. Bahkan Undang-Undang Pendidikan No. 4 tahun 1950 praktis telah mencakup semua prinsip Taman Siswa.
C. Pendidian Ma’arif
Pendidikan Ma’arif saat ini merupakan bagian dari organisasi Nahdatul Ulama. Cikal Bakal pendidikan Ma’arif mulai berkembang pada tahun 1916 ketika dua Kiyai, K.H. Abdul Wahab hasbullah dan K.H. Mas Mansur, mendirikan kursus debat yan diberi nama Taswirul Afkar. Kursus ini kemudian berkembang dengan dibentuknya Jam’iyah Nahdatul Wathon yang bertujuan memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan madrasah. Mulanya Ma’arif dalam bentuk Madrasah berkembang di Jawa Timur, kemudian menyebar ke daerah-daerah lain dengan dipelopori oleh para ulama NU. Mula-mula corak pendidikannya adalah menyerupai “pesantren yang diformalkan”, dengan hanya memuat pendidikan agama dalam kurikulumnya. Dalam perkembangan kemudian, sebagaimana Muhammadiyah, Ma’arif memasukkan materi umum ke kurikulumnya.
Muktamar II NU di Surabaya pada tahun 1927 memutuskan untuk memberikan perhatian yang penuh pada pengembangan madrasah dengan dana ditanggung oleh umat islam, dan menolak bantuan dari Belanda. Dalam Muktamar NU ke-4 di Semarang, para ulam membentuk bagian khusus dalam tubuh NU yang menangani pendidikan, yang disebut Ma’arif. Sejak saat itu gerak NU dalam mnyelenggarakan pendidikan semi-formal yang coraknya banyak berbeda dengan pesantren yang menjadi basis NU mulai berkembang dan ditangani secara sungguh-sungguh.
Basis pendidikan Ma’arif pada dasarnya adalah pesantren yang juga merupakan basis utama kegiatan pendidikan NU. Hal inilah antara lain membedakannya dengan Muhammadiyah yang lebih agresif dan sistematis dalam mengembangkan sistem pendidikan sekolahnya dengan menerapkan manajemen modern.
Meskipun perkembangan lembaga pendidikan Ma’arif tidak secepat dan seluas Muhammadiyah, pendidikan ini ikut memberikan andil dalam pendidikan nasional, baik melalui pemikiran-pemikiran para tokohnya maupun melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dimilikinya.
D. INS Kayutanam
Kayutanam adalah suatu kota kecil dekat Padang Panjang. Di sanalah pada tahun 1926 didirikan Indonesische Nederlandche School (INS), yang kemudian dikenal dengan INS Kayutanam. Pendirinya adalah Muhammad Syafei (1896-1966) bersama Marah Soetan. Sekolah tersebut semula dibawah pembinaan Organisasi Pegawai Kereta Api dan Tambang Ombilin.
Sekolah ini didirikan sebgai tanggapan terhadap pendidikan Belanda yang berlansung saat itu yang oleh Muhammad Syafei dinilai intelektualistik dengan mementingkan kecerdasan dan kurang memperhatikan pemupukan bakat-bakat anak. Melalui INS yang didirikannya ia berusaha agar para siswa tidak menjadi cendekiawan setengah matang yang angkuh, tetapi menjadi pekerja cekatan yang rendah hati. Di INS, para siswa dididik untuk bekerja teratur dan produktif agar dapat hidup mandiri. Para siswa mendapatkan mata pelajaran Kerja Tangan atau Keterampilan, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, dan Menggambar untuk mempertajam pengamatan. Olahraga yang mendapatkan tempat khusu di INS diajarkan sebagai wahana untuk membuat anak-anak sehat dan kuat. Kemudian Bahasa diajarkan sebagai alat berfikir secara teratur.
Falsafah yang mendasari gagasannya adalah “Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya. Masing-masing mesti berguna dan kalau tidak berguna itu disebabkan kita tidak pandai menggunakannnya”. (dikutip dari Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, penerbitan Kementrian Penerangan, hlm.778). INS Kayutanam mengembangkan sistem persekolahannya dengan didasarkan atas “aktivitas” dan bertujuan untuk “melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri”
INS memupuk semangat nasionalisme di kalangan para siswanya. Hal ini tampak dari tujuan pendidikannya yaitu agar siswa dapat berdiri sendiri dan tidak perlu mencari jabatan di kantor pemerintahan yang saat itu dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Muhammad Syafe’i menunjukkan sifat sebagai pendidik yang demokratis dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menurut garis masing-masing yang ditentukan oleh bakat dan pembawaannya.
Prinsip tidak mengggantungkan diri pada orang lain juga dianut oleh Muhammad Syafe’i sendiri yang menolak tawaran pemerintah Belanda untuk menerima bantuan. Pengembangan lembaga pendidikannya diusahakan atas dasar prinsip “self-help” (mandiri) dengan mengumpulkan uang melalui pertunjukkan, pameran hasil karya murid-murid, dan penjualan hasil kerja mereka.
Meskipun gagasan dan praktek pendidikannya bagus, sistem persekolahan yang dikembangkan oleh INS Kayutanam tidak berkembang di luar daerahnya. Semangat nasionalisme dan non-kooperasi dengan Belanda, yang dipupuk oleh INS Kayutanam, memang mampu membangkitkan keengganan untuk bekerja di kantor pemerintahan yang pada waktu itu berarti kantor pemerintahan yang dikendalikan Belanda. Pengorbanan yang diminta adalah bekerja keras tanpa bantuan dari pihak maupun yang mengikat. Hal ini berarti bahwa para pendidik dituntut untuk hidup sederhana dan mungkin dalam serba kekuranga.
INS Kayutanam bertahan hingga masa pendudukan Jepang, dan masa Perang Kemerdekaan (tahun 1949) dan kemudian ditutup. Muhammad Syafe’i sendiri setelah tidak menangani INS, ditunjuk sebagai Kepala Sekolah Guru Bantu (SGB). Dan tutup usia pada tahun 1966.
2.3. Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan (1945-1969)
Pendidikan dan pengajaran sampai tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor pengajaran yang terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan bagian dari kantor penyelenggara urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Setelah di proklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara, pendiri taman siswa, sebagai menteri pendidikan dan pengajaran mulai 19 Agustus sampai 14 November 1945, kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946. karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak bayak yang dapat diperbuat oleh para mentri tersebut.
Pada tanggal 1950 Perdana Menteri Republik Indonesia,Drs. Mohammad Hatta, dan Perdana Merdana Republik Indonesia Dr. A.Halim menandatangani suatu piagam persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia yang antara lain menyatakan:
a. Menyetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan Indonesia sebagai penjelmaan dari Republik indoonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. Sebelum Perundang-undangan kesatuan maka undang-undang dan peraturan yang ada tetap berlaku, akan tetapi sedapat mungkin diusahakan supaya perundangundangan Republik Indonesia (dahulu) berlaku.
b. Menyetujui pembentukan panitia yang bertugas menyelenggarakan segala persetujuan untuk menyelesaikan kesukaran-kesukaran di berbagai lapangan dalam waktuu sesingkat-singkatnya.
Untuk melaksanakan piagam persetujuan tersebut, maka dibentuk Panitia Bersama. Atas usul Panitia Bersama tersebut, maka pada tanggal 30 Juni 1950 dikeluarkkan suatu pengumuman bersama mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Pengumuman itu antara lain menyatakan bahwa untuk tahun pengajaran 1950/1951 sistem pengajaran yang berlaku pada Indonesia dahulu dijalankan di seluruh Indonesia denga maksud dalam waktu yang singkat system itu akan ditinjau kkembali. Dangan adanya pengumuman bersama itu, maka penyelenggaraan bersama pendidikan dan pengajaran sejak Agustus 1950 pada hakikatnyaberjalan atas dasar Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran Republik Indonesia No. 4/1950. UU ini berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dengan mengesampingkan segala peraturan sebelumya berlaku didaerah-daerah diluar Republik Indonesia yang berbeda dengan UU No. 4/1950.
A. Tujuan Dan Kurikulum Pendidikan
Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan amat menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini dapat di pahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajah yang berlangsung ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu penanaman jiwa patrionisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang baru diproklamasikan.
Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patrionisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia yang cukup dan warga negara yang demokaratis secara bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan tanah air”.
Kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an di tujukan untuk:
• meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
• meningkatkan pendidikan jasmani,
• meningkatkan pendidikan watak,
• menberikan perhatian terhafap kesenian,
• menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan
• mengurangi pendidikan pikiran.
Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yang gagal, maka melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan kebudayaan di adakan perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu, “Membentuk manusia pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikenhendaki oleh pembukaan UUD 1945”.
B. Sistem Persekolahan
Sistem pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya melanjutkan apa yang dikembangkan pada zaman pendudukan jepang. Sistem dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan menengah terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi. Sekolah menengah pertama yang berlangsung tiga tahun mempunyai beberapa jenis, yaitu sekolah menegah pertama (SMP) sebagai sekolah menengah pertama umum; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus kerajinan negeri (KKN), sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP) sebagai sekolah menengah pertama kejuruan; serta sekolah guru B (SGB) dan sekolah guru C (SGC) sebagai sekolah menengah pertama keguruan.
Sekolah menegah tinggi berlangsung tiga tahun, meliputi sekolah menengah tinggi (SMT) sebagai sekolah menengah umum, dan sekolah kejuruan berupa sekolah teknik menengah (STM), sekolah teknik (ST), sekolah guru kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA) dan kursus guru.
Perkembangan lain yang penting dicata pada era 1945-1969 ialah berdirinya42 Perguruan Tinggi Negara berupa Universitas, insitut dan sekolah tinggi pada umumnya terletak di ibukota propinsi, sehingga kurun waktu tersebut dapat dikatakan sebabgai “era pertumbuhan PTN” .
C. Perkembangan Jumlah Siswa
Berbeda dengan pada zaman kolonial Belanda yang membedakan kesempatan belajar atas dasar ras dan asal-usul keturunan, pada zaman kemerdekaan kesempatan belajar dibuka untuk semmua orang, baik mellalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 1945 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.Dalam UUD pendidikan No. 4/1950 dan UU No. 12/1954,pasal 17, disebutkan bahwa, “Tiap-tiap warga negara Republlik Indonesia mempunyai hhak yang sama untuk diterima mejadi murid suatu sekolah jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu ”.
Ciri yang menonjol diawal kemerdekaan ialah tingginya motivasi belajar para siswa yang usianya sangat beragam, meskipun sarana yang tersedia hanya seadanya. Keadaan ini merupakan hal yang wajar setelah rakyat Indonesia mengalami berbagai pembatasan oleh penjajah. Pada masa itu,para pelajar bukan hanya belajar di sekolah atau ditempat kursus, melainkanjuga mereka ikut terjun mempertahankan kemerdekaan. Statistik persekolahan mencatatbahwa sejak tahun 1945 terjadi lonjakan jumlah siswa dan tenaga kependidikan didisemua jenjang pendidikan,hingga berkali-kali lipat dari periode sebelumnya.
Untuk pembelajaran rakyat yang pada umumnyamasih buta huruf pada masa-masa awal kemerdekaan , pada tanggal 1 Juni 1946dibentuk Bagian pendidikan Masyarakat pada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang bertugas:
a. Memberantas buta huruf
b. Menyelenggarakan kursus bahasa umum
c. Mengembangkan perpustakaan rakyat.
2.4. Kondisi pendidikan pada PJP 1 : 1969-1993
Pembangunan jangka panjang pertama, meliputi lima pelita, yaitu pelita I-V yang dimulai pada tahun 1969/1970 hingga tahun 1993/1994 atau 25 tahun. Selama kurun tersebut, pendidikan Indonesia mengalami banyak bahan dan kemajuan .
A. UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Dalam rangka membangun sistem pendidikan nasional yang mantap keberadaan UU no 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional ( UU SPN) merupakan acuan penting yang patut di catat UU SPN yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989 mengatur berbagai aspek dan bidang pendidikan, yaitu dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan, hak warga negara dalam pendidikan, satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, serta didik, tenaga kependidikan, sumber daya pendidikan, peran serta masyarakat, badan pertimbangan pendidikan nasional (BPPN), pengelolaan, pengawasan, dilengkapi ketentuan pidana dan ketentuan peralihan, jadi cakupannya cukup konferensif.
B. Taman Kanak-Kanak
Sejak pelita I hingga akhir pelita V, pendidikan di TK mengalami perkembangan yang cukup mengesankan yang di tandai oleh kenaikan jumlah anak didik, guru, dan sekolah. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat khususnya orang tua semakin menyadari akan pentingnya pendidikan prasekolah sebagai wahana untuk menyiapkan anak dalam segi sikap, pengetahuan, dan keterampilan guna memasuki sekolah dasar.
C. Pendidikan Dasar
Prestasi yang sangat mengesankan yang di capai selama pembangunan jangka panjang pertama(PJP I) ialah melonjakan jumlah peserta didik pada sekolah dasar (SD) madrasah IBTIDAYAH (MI) yang merupakan penggal pertama pendidikan dasar 9 tahun. Namun, keberhasilan yang dicapai tersebut masih di hadapkan pada berbagai kendala, antara lain masih tingginya angka putus sekolah dan angka tinggal kelas. Mutu pendidikan tingkat SD belum begitu tinggi disamping terdapat keragaman yang luas pada mutu pendidikan antara sekolah-sekolah yang berada pada lokasi geografis yang berbeda-beda.
Pada tingkat SLTP, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga minimal berpendidikan SLTP maka pada tanggal 2 Mei 1994 program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di canangkan.
D. Pendidikan Menengah
Pada jenjang SLTA, selama PJP I terjadi kenaikaan yang luar biasa pada jumlah siswa, yaitu dari 0,7 juta pada awal tahun pelita I menjadi 4,1 juta siswa. Persoalan yang menonjol pada SLTA umum selama pelita V adalah tentang mutu lulusan yang terutama di ukur dari kesiapan untuk memasuki jenjang pendididkan tinggi. Perbedaan ini mengakibatkan akses keperguruan tinggi yang memiliki reportasi yang baik, menjadi tidak merata pula. Dalam kenyataan, hanya sebagian kecil lulusan SMK yang benar-benar memiliki persiapan untuk kerja. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan SMK selama ini belum sepenuhnya relevan dengan dunia kerja. Di SMK, tantangan utama yang diihadapi pelita V adalah peningkatan mutu dan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
E. Pendidikan Tinggi
Baik PTN maupun PTS sama-sama menghadapi tantangan mengenai masih rendahnya proporsi mahasiswa yang mempelajari bidang teknologi dan MIPA ( Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ), sementara sebagian besar mahasiswa berada pada jurusan/progam studi ilmu-ilmu sosial dan pendidikan. Pembangunan nasional banyak memerlukan lulusan bidang MIPA dan tekologi.
Masih tingginya jumlah mahasiswa yang lambat dalam menyelesaikan studi merupakan tantangan lain yang dihadapi. Hai ini menunjukan bahwa efesiensi eksternal atau (relevansi) yang merupakan tantangan besar. Itulah sebabnya, peningkatan relevansi merupakan prioritas dalam pengembangan dalam pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia.
F. Pendidikan Luar Sekolah
Selama pelita V, di perkirakan sebanyak 5,3 juta warga masyarakat telah dibebaskan dari buta huruf. Hasilnya adalah semakin menurunnya jumlah masyarakat yang buta huruf.
G. Tantangan ,kendala dan peluang
Ada sejumlah tantangan yang di hadapi oleh pembangunan pendidikan Indonesia pada masa-masa selanjutnya, yaitu :
(a) Belum mempunyai pendidikan mengimbangi perubahan struktur ekonomi dari pertanian tradisional ke indrustri dan jasa,
(b) Masih rendahnya relevansi pendidikan,
(c) Masih rendah dan belum meratanya mutu pendidikan,
(d) Masih tingginya angka putus sekolah dan tinggal kelas yang mengakibatkan ketidakstabilan dalam penyelenggaraan pendidikan,
(e) Masih banyaknya kelompok untuk 10 tahun keatas yang buta huruf,
(f) Masih kurangnya peran serta dunia usaha dalam pendidikan.
(g) Ada kendala yang dihadapi dalam peningkatan kinerja pendidikan nasional, yaitu:
1. Dari pihak masyarakat, kendala tersebut adalah kemiskinan dan keterbelakangan yang berkaitan dengan masih rendah nya penghargaan akan pendidikan pada sebagian kelompok masyarakat,
2. Terbatasnya jumlah guru yang bermutu disamping penyebarannya yang tidak merata,
3. Terbatasnya sarana prasarana, dan
4. Manajemen sistem pendidikan yang belum secara terarah menuju peningkatan mutu,relevansi,dan efesiensi pendidikan
(h) Adapun peluang yang dimiliki oleh pendidikan nasional adalah:
1. Keberhasilan wajib belajar 6 tahun yang memberikan landasan bagi pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahu
2. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan ,
3. Semakin luasnya sarana komunikasi,
4. Semakin tersebar luasnya lembaga pendidikan negeri maupun swasta,
5. Adanya UU no 2/1989 tentang sistem pendidikan nasional yang memberikan landasan yang kokoh bagi pendidikan nasional.
Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap, berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional, serta mampu menjawab tantangan masa kin dan masa depan, pendidikan nasional dewasa ini terus ditata dan dikembangkan dengan meberikan prioritas pada aspek-aspek yang dipandang strategis bagi masa depan bangsa. Prioritas tersebut adalah pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang bersamaan dengan peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi pada semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
2.5. Pendidikan di Indonesia Dewasa Ini
Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap, pendidikan nasional dewasa ini terus ditata dan dikembangkan dengan memberikan prioritas pada aspek-aspek yang dipandang strategis bagi masa depan bangsa. Prioritas tersebut adalah wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun bersamaan dengan peningkatan mutu.
A. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Pada tanggal 2 Mei 1994 wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat SLTP mulai diprioritaskan. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun mempunyai dua tujuan utama. Pertama, meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi semua kelompok umur 7-15 tahun. Kedua, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga mencapai SLTP.
Peningkatan lamanya wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun memungkinkan peserta didik untuk lebih lama belajar di sekolah. Hal ini memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang dibutuhkan. Dengan adanya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, maka semua lulusan SD didorong untuk melanjutkan ke SMP. Sasaran-sasaran wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun adalah, pertama, meningkatkan angka partisipasi tingkat SMP. Kedua, meningkatkan jumlah lulusan SD/MI. Ketiga, tercapainya jumlah SD yang minimal berkualifikasi DII. Untuk menunjang tercapainya sasaran, dilakukan penambahan gedung sebanyak 3.000 unit dan 20.000 ruang kelas baru. Tantangan yang dihadapi oleh program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun memang lebih berat. Alasannya, pertama, hanya sekitar separuh dari kelompok umur 13-15 tahun yang berada di sekolah. Kedua, daya dukung sumber daya berupa dana, sarana dan tenaga yang dimiliki oleh Indonesia untuk pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Ketiga, guna menampung anak usia 13-15 tahun di SLTA diperlukan sarana, biaya, dan tenaga.
B. Pelaksanaan Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 diberlakukan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995. Kurikulum 1994 disusun dengan maksud agar proses pendidikan dapat selalu menyesuaikan diri dengan tantangan yang terus berkembang, sehingga mutu pendidikan akan semakin meningkat. Menyusul terjadinya reformasi, dilakukan kembali revisi atas Kurikulum 1994 dengan menata kembali struktur program yang kemudian dikenal dengan Kurikulum 1994 Yang Disempurnakan.
C. Pengadaan Buku Pelajaran
Pemerintah menyediakan buku paket sebagai buku teks pokok yang diadakan secara cuma-cuma kepada semua SD/MI di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta. Pengadaan buku paket bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan cara meningkatkan produksi dan distribusi buku yang lebih bermutu, menjamin ketersediaannya di kelas serta pemanfaatannya secara maksimal oleh guru dan siswa. Sementara untuk memenuhi kebutuhan buku teks pokok untuk SLTP, pemerintah menyediakan buku-buku tersebut yang diedarkan secara cuma-cuma ke semua sekolah. Pengadaan buku paket tersebut seluas mungkin mengundang kepedulian semua pihak khususnya mereka yang berkepentingan terhadap buku. Misalnya, orangtua , guru , kepala sekolah, pejabat pendidikan. Orangtua harus tau anaknya akan mendapat buku secara cuma-cuma. Guru dan kepala sekolah harus paham bahwa siswanya akan mendapat buku untuk setiap mata pelajaran dan buku itu harus digunakan di sekolah tersebut. Pejabat pendidikan juga harus mengetahui bahwa setiap sekolah wajib dapat buku baik negeri mau pun swasta.
D. Pembinaan Mutu Guru
Banyak faktor yang menentukan mutu pendidikan pada umumnya, yaitu mutu murid sendiri, sarana dan prasarana, dan juga guru. Mengenai peranan mutu guru, studi Balitbang Dikbud menyimpulkan bahwa ada korelasi antara tingkat pencapaian siswa dengan penguasaan guru dalam mata pelajaran, semakin tinggi penguasaan guru terhadap materi pelajaran, makin tinggi pula prestasi belajar siswa.
Kenyataan yang perlu dicermati berkaitan dengan guru ialah, pertama, pada SLTP dan SMA terdapat ketidaksesuaian antara bidang keahlian dengan mata pelajaran yang ditangani. Hal ini menuntut penanganan, karena akan menghambat peningkatan mutu. Kedua, rata-rata pendidikan guru masih harus ditingkatkan. Misal persyaratan minimal untuk guru SD adalah DII, SLTP minimal DIII, SMA minimal S1, dan sebagainya.
Kedua masalah itu harus ditangani secara serius karena akan berdampak pada mutu pendidikan yang dihasilkan. Secara umum mutu guru harus ditingkatkan, misal seminar-seminar dan penataran/pelatihan.
E. Pendidikan Menengah Umum
Agenda penting Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah meningkatkan daya tampung yang sejalan dengan peningkatan mutu dan efektivitas program pendidikan di SMU. Dengan demikian semakin tinggi angka partisipasi pada pendidikan dasar sebagai hasil dari pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Untuk mengatasi masalah tersebut, dilakukan upaya-upaya peningkatan daya tampung melalui pembangunan unit/gedung baru dan pembangunan ruang kelas baru. Idealnya semua SMU mampu menghasilkan lulusan bermutu tinggi yang menjadi masukan/input ke perguruan tinggi. Akan tetapi pada kenyataannya belum semua SMU mampu menghasilkan lulusan yang bermutu tinggi karena berbagai keterbatasan.
F. Pendidikan Menengah Kejuruan
Potensi SMK di indonesia sangat besar yang meliputi 4.092 SMK yang terdiri atas 726 SMK negeri dan 3.366 SMK swasta. Di SMK usaha-usaha untuk semakin mendekatkan sekolah dengan dunia kerja dilakukan secara intensif melalui model Pendidikan Sistem ganda (PSG) yang di mulai pada tahun 1994 PSG di SMK pada dasarnya menganut 2 prinsip :
1. Program pendidikan kejuruan di SMK merupakan program bersama (joint program) antara SMK dengan industri yang menjadi mitra sekolah melaksanakan PSG.
2. Program pendidikan kejuruan SMK dilaksanakan, yaitu sebagian di sekolah untuk teori dan praktek dasar, dan di industri untuk praktek ketrampilan industri untuk praktek ketrampilan produktif.
Pelaksanaan PSG di ikuti pula oleh penataan secara menyeluruh sistem pendidikan di SMK yang meliputi kurikulum, guru, sarana dan prasarana, dan kepemimpinan sekolah. Untuk lebih meningkatan peran dunia industri dalam pelaksanaan PSG, telah di bentuk Majelis Pendidikan Kejuruan ( MPK ) di tingkat nasional, provinsi dan sekolah. Sampai saat ini, PSG telah berjalan di semua SMK negeri dan SMK swasta dengan kualitas pelaksanaan yang berbeda
G. Pendidikan Tinggi
Upaya untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan tinggi, dosen disertai dengan pasca sarjana. Pada tahun 1994 sebanyak 22 PTN dan 39 PTS menyelenggarakan program Pascasarjana (S2) dengan jumlah mahasiswa sekitar 8ribu orang.Jumlah ini diproyeksikan untuk meningkat hingga mencapai 12 ribu mahasiswa pascasarjana.
Perkembngan lain yang perlu dicatat ialah berdirinya badan akreditasi Nasional Pergurun Tinggi (BAN-PT) pada tahun 1995 BAN-PT menandai babak baru dalam dunia pendidikan tinggi indonesia tugasnya ialah melakukan penilaian berkala terhadap perguruan tinggi yang meliputi kurikulum,mutu dan jumlah tenaga kependidikan,keadaan mahasiswa,pelaksanaan pendidikan ,sarana dan prasarana,kepegawaian,keuangan dan kerumah tanggaan.Berdasarkan hasil penilaian teressebut ditetapkan lah status akreditasi program study di perguruaan tinggi.Sebagai suatu badan yang independen,BAN-PT memikul tugas yang tidak ringan karena harus melakukan penilaian secara berkala dan berkesinambungan terhadap semu PT baik PTN maupun PTS
H. Agenda Agenda Ke Depan
Memasuki pergantian abad,yaitudari abad ke 20 ke abad 21 yang dikenal dengan milenium ke 3,pendidikan Indonesia dihadapkan padatantangan tantangan yang berat dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu.Dengan bertolak dari kemajuan kemajuan yang telah di capai sebelumnya,yang dikemukakan beberapa agenda pembangunan pendidikan di Indonesia untuk saat ini dan masa depan.
1. Penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dengan cara :
- Menambah jumlah gedung dan ruang kelas baru yang didekatkan dengan tempat tinggal.
- Memperkuat kelembagaan SLTP swasta agar pencapaian sasaran wajib belajar lebih meningkat
- Memperluas jangkauan SLTP terbuka melalui pembukaan SLTP SLTP terbuka baru dan menambah tempat kegiatan belajar (TKB)dan kejar paket B
- Meningkatkan peran serta masyarakat dan kesadaran orangtua dalam pelaksaan wajib belajar
2. Peningkatan daya tampung SLTA (SMU dan SMK) dan Perguruan Tinggi dengan dilaksanakannya wajib belajar9 tahun, maka jumlah lulusan SLTP akan semakin meningkat yang akan meumbuhkan kebutuhan yang lebih besar terhadap tersedianya pendidikan ke SLTA. Hal yang sama berlakunpada perguruan tinggi daya tampung perguruan tinggi khususnya PTN perlu terus dipacu untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan.
3. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan pada semua jalur perlu terus dilanjutkan mengingat tuntutan sektor-sektor pembangunan dan masyarakat terhadap pendidikan yang bermutu semakin besar dengan metode pengajaran yang perlu di tingkatkan engan cara peniingkatan mutu guru perlu ditangani secara lebih intensif dan pengelolaan sumber daya pendidikan yang tersedia lebih baik lagi.
4. Pemanfaatan sumberdaya pendidikan yang jumlahnya terbatas perlu dilanjutkan sehingga benar-benar dapat memberikan hasil yang maksimal terhadap pemerataan kesempatan, peningkatan mutu.
5. Pelaksanaan desentralisai pendidikan sejalan dengan undang-undang No.22/1999 tantang pemerintahan daerah akan membawa implikai yang lua pada model dan pola managemen pendidikan. Managemen pendidikan yang selama ini cenderung di ubah menjadi desentralistik dengan cara menyerahkan sebagian besar penanganan program-program pendidikan.
A. Pendidikan Hindu-Budha
Ajaran hindu dan Budha memberikan corak pada praktek pendidikan di Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Kalimantan (Kutai), Pulau Jawa (Tarumanegara hingga Majapahit), Bali dan Sumatera (Sriwijaya).
Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di Nusantara, sistem pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan di biara-biara atau padepokan.Pada perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan bukan hanya berupa ajaran keagamaan, melainkan ilmu pengatahuan yang meliputi sastra, bahasa, filsafat, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. Kerajaan-kerajaan Hindu di tanah Jawa banyak melahirkan para empu dan pujangga besar yang melahirkan karya-karya seni yang bermutu tinggi. Pada masa itu, pendidikan mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi dikendalikan oleh para pemuka agama. Pendidikan bercorak Hindu-Budha semakin pudar dengan jatuhnya kerajaan Majapahit pada awal abad ke-16, dan pendidikan dengan corak Islam dalam kerajaan-kerajaan Islam datang menggantikannya.
B. Pendidikan Islam
Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Di pulau Jawa, pusat penyebaran Islam membentang mulai Banten, Cirebon, Demak hingga ke Gresik. Lama kelamaan, bersamaan dengan pudarnya kerajaan-kerajaan Hindu, ajaran Islam makin berkembang dengan baik di pesisir maupun di pedalaman pulau-pulau Jawa dan Sumatera.
Di pulau Jawa dan Sumatera yang penduduknya lebih dahulu mengadakan kontak dengan pendatang dari luar Indonesia (terutama dari Cina, Indiadan Indocina), didapati pendidikan agama Islam di masa pra kolonial dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar, pendidikan di pesantren, dan pendidikan di madrasah. Praktek pendidikan di langgar dan di pesantren berbeda dengan cara mengajar di sekolah-sekolah modern yang menggunakan sistem yang formal dan berjenjang. Pendidikan di Indonesia baru mengenal sistem berjenjang yang formal sejak masuknya pengaruh Belanda. Namun hingga datangnya kolonial belanda dan bahkan hingga sekarang, ketiga corak pendidikan Islam yaitu pendidikan di langgar, pesantren, dan madrasah tetap bertahan.
C. Pendidikan Katolik dan Kristen-Protestan
Pendidikan Katolik berkembang mulai abad ke-16 melalui orang-orang Portugis yang menguasai Malaka. Misi mereka yang dikenal dengan misi suci (mission sacre) dilaksanakan bersama-sama dengan misi pencarian rempah-rempah. Segera setelah mereka menduduki suatu daerah atau pulau, usaha pertama yang dilakukannya adalah menjadikan penduduk setempatsebagai pemeluk Katolik-Roma. Kekuasaan portugis tidak berlangsung lama, hanya sekitar setengah abad, karena diusir oleh Spanyol. Kemudian Spanyol menyebarkan agama Kristen-Protestan dan mengembangkan sistem pendidikannya sendiri yang bercorak Kristen-Protestan.
D. Pendidikan pada Zaman VOC
Sebagaimana bangsa Portugis sebelumnya, kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 mula-mula untuk tujuan dagang dengan mencari rempah-rempahdengan mendirikan VOC. Misi dagang tersebut kemudian diikuti oleh misi penyebaran agama yang terutama dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang dilengkapi asrama untuk para siswa. Di sana diajarkan agama Kristen-Protestan dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, dan sebagian menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-16, VOC mendirikan sekolah di pulau-pulau Ambon, Banda, Lontar, dan Sangihe-Talaud. Pada periode berikutnya, didirikan pula sekolah-sekolah dengan jenis dan tujuan beragam. Pendirian sekolah-sekolah tersebut terutama diarahkan untuk kepentingan untuk mendukung misi VOC di Nusantara.
E. Pendidikan Pada Zaman Kolonial Belanda
Pudarnya VOC pada akhir abad ke-18 menandai masa datangnya zaman kolonial Belanda. Tugas untuk mengatur pemerintahan dan masyarakat yang sebelumnya ditangani oleh Kompeni (institusi dagang) kemuadian diambil alih oleh Pemerintah Belanda yang menjadikan Hindia-Belanda sebagai tanah jajahan.
Sistem pendidikan diubah dengan menarik garis pemisah antara sekolah Eropa dan sekolah Bumiputera. Sekolah Eropa diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan anak-anak orang Eropa di Indonesia. Sedangkan sekolah Bumiputera yang tingkatan dan prestisenya lebih rendah diperuntukkan bagi anak-anak bumiputera yang terpilih. Ada lagi sekolah Cina bagi anak-anak Cina. Mulai akhir abad ke-19 dan hingga dasawarsa awal abad ke-20 lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sangt beragam meliputi sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah raja, sekolah pertukangan, sekolah kejurauan, sekolah-sekolah khusus untuk perempuan Eropa dan pribumi, sekolah dokter, perguruan tinggi hukum, dan perguruan tinggi teknik.
F. Pendidikan Pada Masa Pendudukan Jepang
Meskipun singkat, berlangsung pada tahun 1942-1945, masa pendudukan Jepang memberikan corak yang berarti pada pendidikan di Indonesia. Tidak lama setelah berkuasa, jepang segera menghapus sistem pendidikan warisan Belanda yang didasarkan atas penggolongan menurut bangsa dan status sosial. Tingkat sekolah terendah adalah Sekolah Rakyat (SR)yang disebut dalam bahasa Jepang Kokumin Gakko, yang terbuka untuk semua golongan masyarakat tanpa membedakan status sosial dan asal-usulnya. Kelanjutannya adlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) selama tiga tahun, kemuadian Sekolah Menengah Tinggi (SMT) selama tiga tahun. Sekolah kejuruan juga dikembangkan. Sekolah Hukum dan MOSVIA yang didrikan oleh Belanda dihapuskan. Di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Sekolah Tinggi kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Perubahan lain yang sangat berarti di kemudian hari ialah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar pertama di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan, dan bahasa pengantar kedua adalah bahasa Jepang. Sementara itu, bahasa Belanda dilarang sama sekali untuk digunakan baik di sekolah-sekolah maupun di kantor-kantor, Sejak saat itu, bahasa Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa pengantar dan bahasa komunikasi ilmiah.
Tujuan utama pendidikan pada masa pendudukan Jepang diarahkan untuk mendukung pendudukan jepang dengan menyediakan tenaga kerja kasar secara cuma-cuma yang dikenal dengan romusha. Di sekolah, para siswa mengikuti latihan fisik, baris berbaris meniru tentara Dai Nippon, latihan kemiliteran disertai indoktrinasi yang intinya kesetiaan penuh pada kaisar Jepang. Pemuda-pemuda yang menapak dewasa dijadikan romusha dan sebagian direkrut untuk menjadi tentara.
2.2. Perintis Perguruan Pertama Kali di Indonesia
Ada empat perguruan yang secara kronologis pertama berdiri di Indonesia. Yaitu, Muhammadiyah, Taman Siswa, Ma’arif, dan INS Kayutanam. Keempatnya dibicarakan disini karena sama-sama merupakan tanggapan bangsa Indonesia terhadap keadaan pada masa penjajahan. Meskipun masing-masing lembaga pendidikan tersebut berdiri dengan dasar dan tujuan yang berbeda-beda, namun misi dan sifat pedagogis, nasional, politis, keagamaan, atau kombinasi nasional-pedagogis, nasional-religius, atau nasional-politis. Dari keempat perguruan tersebut, yang masih giat menyelenggarakan pendidikan dengan jangkauan yang luas di Tanah Air adalah Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Ma’arif. Sedangkan INS Kayurtanam telah hancur secara fisik pada tahun 1949.
A. Muhammadiyah
Muhammadiyah lahir dibawah pengaruh kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda yang dimulai dengaan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Dalam pemikiran keagamaan, saat itu ke Indonesia datang pula gelombang pembaharuan dalam agama islam yang bersumber dari Mesir, Arab dan India. K.H. Achmad Dahlan yang mempelajari pembaharuan-pembaharuan itu mendirikan perkumpulan Muhammadiyah. Misi Muhammadiyah untuk menyebarkan agama, kemudian membuka dan menyelenggarakan pendidikan, baik sebagai sarana untuk menerdaskan bangsa yang dibodohi oleh pemerintah Belanda maupun sebagai sarana menyebarkan syiar islam (Supriyadi, 2006 : 4.3).
Muhammadiyah didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Sekolah Muhammadiyah pertama didirikan tahun 1911, satu tahun sebelum Muhammadiyah berdiri. Dalam perkembangan kemudian, sekolah ini menjadi Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga tahun. Sebagai pendiri, K.H. Achmad Dahlan telah aktif memberikan pendidikan tentang agama dan pengetahuan lainnya kepada penduduk di sekitar kampungnya. Muhammadiyah kemudian juga mendirikan sekolah rakyat tiga tahun yang diberi nama Sekolah Kesultanan (Sultanaatschool), menyusul kemudian HIS Muhammadiyah, sekolah menengah yang dimulai dengan MULO yang diberi subsidi oleh Pemerintah Belanda, juga sebuah Algemene Middel School (AMS) dan Holland Inlandse Kweekschool. Kurikulum sekolah-sekolah Muhammadiyah di masa itu menyeimbangkan muatan pelajaran agama dan umum dengan porsi masing-masing sekitar 50%.
Dasar dari Muhammadiyah adalah pembaharuan di bidang agama yang pada hakikatnya mengikuti gerak hidup zaman dan mengeluarkan golongan Islam dari isolasi sekaligus secara positif bergerak di bidang sosial dan pendidikan.
B. Taman Siswa
Taman Siswa sejak pendiriannya mempunyai tujuan politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini jelas dari pertimbangan Ki Hajar Dewantara, pendirinya, sewaktu berada di pengasingan di Negeri Belanda untuk mendalami masalah pendidikan. Menurut Ki Hajar, rakyat Indonesia harus benar-benar menyadari arti kehidupan berbangsa dan bertanah air melalui pendidikan. Dengan mendirikan Kindertuin atau Taman Kanak-kanak yang di kalangan Taman Siswa disebut Taman Indriya, pada tanggal 3 Juli 1922. Lembaga pendidikan Taman Siswa diberi nama National Onderwijs Instituut Taman siswa dengan Taman Indriya sebagai tingkat terendah.
Pendidikan Taman Siswa selanjutnya mengakui hak-hak anak untuk bebas yang dinyatakan tidak tanpa batas. Batas itu antara lain adalah lingkungan dan kebudayaan. Pengakuan atas kebebasan anak adalah suatu prinsip pendidikan yang sangat pokok pada Taman Siswa. Prinsip demokrasi dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan penegrtian sebgaia berikut.
1. Anak dalam pendidikan merupakan pusat perhatian pendidik.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan yang terus berjalan, lingkungan anak makin luas dan segala sesuatu yang dijumpainya akan dijadikan miliknya. Hal ini kemudian melahirkan prinsip konsentris, kontinue, dan konvergen yang terkenal dengan istilah “tri-kon”
2. Musyawarah sebagai prinsip demokrasi tetapi menghargai pimpinan.
Ki Hajar Dewantara menganggap perlu ada suatu kewibawaan yang pada suatu ketika mengarah pada musyawarah dan mufakat.
3. Dasar demokrasi membawa kewajiban untuk memikul tanggung jawab.
Dasar demokrasi yang mengakui hak anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya telah melahirkan metode “among” dengan semboyan “tut wuri handayani” yang kemudian diadopsi menjadi semboyan pendidikan nasional. dasar demokrasi telah membawa Taman Siswa menjadi tidak kaku dan melahirkan prinsip hidup kekeluargaan yang dikalangan Taman Siswa dipraktekan dengan sungguh-sungguh.
Dengan gambaran di atas, maka Taman Siswa, terutama dibidang pendidikan dan kebudayaan, telah memberikan andil sangat besar terhadap pendidikan nasional. Bahkan Undang-Undang Pendidikan No. 4 tahun 1950 praktis telah mencakup semua prinsip Taman Siswa.
C. Pendidian Ma’arif
Pendidikan Ma’arif saat ini merupakan bagian dari organisasi Nahdatul Ulama. Cikal Bakal pendidikan Ma’arif mulai berkembang pada tahun 1916 ketika dua Kiyai, K.H. Abdul Wahab hasbullah dan K.H. Mas Mansur, mendirikan kursus debat yan diberi nama Taswirul Afkar. Kursus ini kemudian berkembang dengan dibentuknya Jam’iyah Nahdatul Wathon yang bertujuan memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan madrasah. Mulanya Ma’arif dalam bentuk Madrasah berkembang di Jawa Timur, kemudian menyebar ke daerah-daerah lain dengan dipelopori oleh para ulama NU. Mula-mula corak pendidikannya adalah menyerupai “pesantren yang diformalkan”, dengan hanya memuat pendidikan agama dalam kurikulumnya. Dalam perkembangan kemudian, sebagaimana Muhammadiyah, Ma’arif memasukkan materi umum ke kurikulumnya.
Muktamar II NU di Surabaya pada tahun 1927 memutuskan untuk memberikan perhatian yang penuh pada pengembangan madrasah dengan dana ditanggung oleh umat islam, dan menolak bantuan dari Belanda. Dalam Muktamar NU ke-4 di Semarang, para ulam membentuk bagian khusus dalam tubuh NU yang menangani pendidikan, yang disebut Ma’arif. Sejak saat itu gerak NU dalam mnyelenggarakan pendidikan semi-formal yang coraknya banyak berbeda dengan pesantren yang menjadi basis NU mulai berkembang dan ditangani secara sungguh-sungguh.
Basis pendidikan Ma’arif pada dasarnya adalah pesantren yang juga merupakan basis utama kegiatan pendidikan NU. Hal inilah antara lain membedakannya dengan Muhammadiyah yang lebih agresif dan sistematis dalam mengembangkan sistem pendidikan sekolahnya dengan menerapkan manajemen modern.
Meskipun perkembangan lembaga pendidikan Ma’arif tidak secepat dan seluas Muhammadiyah, pendidikan ini ikut memberikan andil dalam pendidikan nasional, baik melalui pemikiran-pemikiran para tokohnya maupun melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dimilikinya.
D. INS Kayutanam
Kayutanam adalah suatu kota kecil dekat Padang Panjang. Di sanalah pada tahun 1926 didirikan Indonesische Nederlandche School (INS), yang kemudian dikenal dengan INS Kayutanam. Pendirinya adalah Muhammad Syafei (1896-1966) bersama Marah Soetan. Sekolah tersebut semula dibawah pembinaan Organisasi Pegawai Kereta Api dan Tambang Ombilin.
Sekolah ini didirikan sebgai tanggapan terhadap pendidikan Belanda yang berlansung saat itu yang oleh Muhammad Syafei dinilai intelektualistik dengan mementingkan kecerdasan dan kurang memperhatikan pemupukan bakat-bakat anak. Melalui INS yang didirikannya ia berusaha agar para siswa tidak menjadi cendekiawan setengah matang yang angkuh, tetapi menjadi pekerja cekatan yang rendah hati. Di INS, para siswa dididik untuk bekerja teratur dan produktif agar dapat hidup mandiri. Para siswa mendapatkan mata pelajaran Kerja Tangan atau Keterampilan, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, dan Menggambar untuk mempertajam pengamatan. Olahraga yang mendapatkan tempat khusu di INS diajarkan sebagai wahana untuk membuat anak-anak sehat dan kuat. Kemudian Bahasa diajarkan sebagai alat berfikir secara teratur.
Falsafah yang mendasari gagasannya adalah “Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya. Masing-masing mesti berguna dan kalau tidak berguna itu disebabkan kita tidak pandai menggunakannnya”. (dikutip dari Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, penerbitan Kementrian Penerangan, hlm.778). INS Kayutanam mengembangkan sistem persekolahannya dengan didasarkan atas “aktivitas” dan bertujuan untuk “melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri”
INS memupuk semangat nasionalisme di kalangan para siswanya. Hal ini tampak dari tujuan pendidikannya yaitu agar siswa dapat berdiri sendiri dan tidak perlu mencari jabatan di kantor pemerintahan yang saat itu dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Muhammad Syafe’i menunjukkan sifat sebagai pendidik yang demokratis dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menurut garis masing-masing yang ditentukan oleh bakat dan pembawaannya.
Prinsip tidak mengggantungkan diri pada orang lain juga dianut oleh Muhammad Syafe’i sendiri yang menolak tawaran pemerintah Belanda untuk menerima bantuan. Pengembangan lembaga pendidikannya diusahakan atas dasar prinsip “self-help” (mandiri) dengan mengumpulkan uang melalui pertunjukkan, pameran hasil karya murid-murid, dan penjualan hasil kerja mereka.
Meskipun gagasan dan praktek pendidikannya bagus, sistem persekolahan yang dikembangkan oleh INS Kayutanam tidak berkembang di luar daerahnya. Semangat nasionalisme dan non-kooperasi dengan Belanda, yang dipupuk oleh INS Kayutanam, memang mampu membangkitkan keengganan untuk bekerja di kantor pemerintahan yang pada waktu itu berarti kantor pemerintahan yang dikendalikan Belanda. Pengorbanan yang diminta adalah bekerja keras tanpa bantuan dari pihak maupun yang mengikat. Hal ini berarti bahwa para pendidik dituntut untuk hidup sederhana dan mungkin dalam serba kekuranga.
INS Kayutanam bertahan hingga masa pendudukan Jepang, dan masa Perang Kemerdekaan (tahun 1949) dan kemudian ditutup. Muhammad Syafe’i sendiri setelah tidak menangani INS, ditunjuk sebagai Kepala Sekolah Guru Bantu (SGB). Dan tutup usia pada tahun 1966.
2.3. Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan (1945-1969)
Pendidikan dan pengajaran sampai tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor pengajaran yang terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan bagian dari kantor penyelenggara urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Setelah di proklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara, pendiri taman siswa, sebagai menteri pendidikan dan pengajaran mulai 19 Agustus sampai 14 November 1945, kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946. karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak bayak yang dapat diperbuat oleh para mentri tersebut.
Pada tanggal 1950 Perdana Menteri Republik Indonesia,Drs. Mohammad Hatta, dan Perdana Merdana Republik Indonesia Dr. A.Halim menandatangani suatu piagam persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia yang antara lain menyatakan:
a. Menyetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan Indonesia sebagai penjelmaan dari Republik indoonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. Sebelum Perundang-undangan kesatuan maka undang-undang dan peraturan yang ada tetap berlaku, akan tetapi sedapat mungkin diusahakan supaya perundangundangan Republik Indonesia (dahulu) berlaku.
b. Menyetujui pembentukan panitia yang bertugas menyelenggarakan segala persetujuan untuk menyelesaikan kesukaran-kesukaran di berbagai lapangan dalam waktuu sesingkat-singkatnya.
Untuk melaksanakan piagam persetujuan tersebut, maka dibentuk Panitia Bersama. Atas usul Panitia Bersama tersebut, maka pada tanggal 30 Juni 1950 dikeluarkkan suatu pengumuman bersama mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Pengumuman itu antara lain menyatakan bahwa untuk tahun pengajaran 1950/1951 sistem pengajaran yang berlaku pada Indonesia dahulu dijalankan di seluruh Indonesia denga maksud dalam waktu yang singkat system itu akan ditinjau kkembali. Dangan adanya pengumuman bersama itu, maka penyelenggaraan bersama pendidikan dan pengajaran sejak Agustus 1950 pada hakikatnyaberjalan atas dasar Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran Republik Indonesia No. 4/1950. UU ini berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dengan mengesampingkan segala peraturan sebelumya berlaku didaerah-daerah diluar Republik Indonesia yang berbeda dengan UU No. 4/1950.
A. Tujuan Dan Kurikulum Pendidikan
Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan amat menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini dapat di pahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajah yang berlangsung ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu penanaman jiwa patrionisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang baru diproklamasikan.
Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patrionisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia yang cukup dan warga negara yang demokaratis secara bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan tanah air”.
Kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an di tujukan untuk:
• meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
• meningkatkan pendidikan jasmani,
• meningkatkan pendidikan watak,
• menberikan perhatian terhafap kesenian,
• menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan
• mengurangi pendidikan pikiran.
Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yang gagal, maka melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan kebudayaan di adakan perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu, “Membentuk manusia pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikenhendaki oleh pembukaan UUD 1945”.
B. Sistem Persekolahan
Sistem pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya melanjutkan apa yang dikembangkan pada zaman pendudukan jepang. Sistem dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan menengah terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi. Sekolah menengah pertama yang berlangsung tiga tahun mempunyai beberapa jenis, yaitu sekolah menegah pertama (SMP) sebagai sekolah menengah pertama umum; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus kerajinan negeri (KKN), sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP) sebagai sekolah menengah pertama kejuruan; serta sekolah guru B (SGB) dan sekolah guru C (SGC) sebagai sekolah menengah pertama keguruan.
Sekolah menegah tinggi berlangsung tiga tahun, meliputi sekolah menengah tinggi (SMT) sebagai sekolah menengah umum, dan sekolah kejuruan berupa sekolah teknik menengah (STM), sekolah teknik (ST), sekolah guru kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA) dan kursus guru.
Perkembangan lain yang penting dicata pada era 1945-1969 ialah berdirinya42 Perguruan Tinggi Negara berupa Universitas, insitut dan sekolah tinggi pada umumnya terletak di ibukota propinsi, sehingga kurun waktu tersebut dapat dikatakan sebabgai “era pertumbuhan PTN” .
C. Perkembangan Jumlah Siswa
Berbeda dengan pada zaman kolonial Belanda yang membedakan kesempatan belajar atas dasar ras dan asal-usul keturunan, pada zaman kemerdekaan kesempatan belajar dibuka untuk semmua orang, baik mellalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 1945 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.Dalam UUD pendidikan No. 4/1950 dan UU No. 12/1954,pasal 17, disebutkan bahwa, “Tiap-tiap warga negara Republlik Indonesia mempunyai hhak yang sama untuk diterima mejadi murid suatu sekolah jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu ”.
Ciri yang menonjol diawal kemerdekaan ialah tingginya motivasi belajar para siswa yang usianya sangat beragam, meskipun sarana yang tersedia hanya seadanya. Keadaan ini merupakan hal yang wajar setelah rakyat Indonesia mengalami berbagai pembatasan oleh penjajah. Pada masa itu,para pelajar bukan hanya belajar di sekolah atau ditempat kursus, melainkanjuga mereka ikut terjun mempertahankan kemerdekaan. Statistik persekolahan mencatatbahwa sejak tahun 1945 terjadi lonjakan jumlah siswa dan tenaga kependidikan didisemua jenjang pendidikan,hingga berkali-kali lipat dari periode sebelumnya.
Untuk pembelajaran rakyat yang pada umumnyamasih buta huruf pada masa-masa awal kemerdekaan , pada tanggal 1 Juni 1946dibentuk Bagian pendidikan Masyarakat pada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang bertugas:
a. Memberantas buta huruf
b. Menyelenggarakan kursus bahasa umum
c. Mengembangkan perpustakaan rakyat.
2.4. Kondisi pendidikan pada PJP 1 : 1969-1993
Pembangunan jangka panjang pertama, meliputi lima pelita, yaitu pelita I-V yang dimulai pada tahun 1969/1970 hingga tahun 1993/1994 atau 25 tahun. Selama kurun tersebut, pendidikan Indonesia mengalami banyak bahan dan kemajuan .
A. UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Dalam rangka membangun sistem pendidikan nasional yang mantap keberadaan UU no 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional ( UU SPN) merupakan acuan penting yang patut di catat UU SPN yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989 mengatur berbagai aspek dan bidang pendidikan, yaitu dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan, hak warga negara dalam pendidikan, satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, serta didik, tenaga kependidikan, sumber daya pendidikan, peran serta masyarakat, badan pertimbangan pendidikan nasional (BPPN), pengelolaan, pengawasan, dilengkapi ketentuan pidana dan ketentuan peralihan, jadi cakupannya cukup konferensif.
B. Taman Kanak-Kanak
Sejak pelita I hingga akhir pelita V, pendidikan di TK mengalami perkembangan yang cukup mengesankan yang di tandai oleh kenaikan jumlah anak didik, guru, dan sekolah. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat khususnya orang tua semakin menyadari akan pentingnya pendidikan prasekolah sebagai wahana untuk menyiapkan anak dalam segi sikap, pengetahuan, dan keterampilan guna memasuki sekolah dasar.
C. Pendidikan Dasar
Prestasi yang sangat mengesankan yang di capai selama pembangunan jangka panjang pertama(PJP I) ialah melonjakan jumlah peserta didik pada sekolah dasar (SD) madrasah IBTIDAYAH (MI) yang merupakan penggal pertama pendidikan dasar 9 tahun. Namun, keberhasilan yang dicapai tersebut masih di hadapkan pada berbagai kendala, antara lain masih tingginya angka putus sekolah dan angka tinggal kelas. Mutu pendidikan tingkat SD belum begitu tinggi disamping terdapat keragaman yang luas pada mutu pendidikan antara sekolah-sekolah yang berada pada lokasi geografis yang berbeda-beda.
Pada tingkat SLTP, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga minimal berpendidikan SLTP maka pada tanggal 2 Mei 1994 program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di canangkan.
D. Pendidikan Menengah
Pada jenjang SLTA, selama PJP I terjadi kenaikaan yang luar biasa pada jumlah siswa, yaitu dari 0,7 juta pada awal tahun pelita I menjadi 4,1 juta siswa. Persoalan yang menonjol pada SLTA umum selama pelita V adalah tentang mutu lulusan yang terutama di ukur dari kesiapan untuk memasuki jenjang pendididkan tinggi. Perbedaan ini mengakibatkan akses keperguruan tinggi yang memiliki reportasi yang baik, menjadi tidak merata pula. Dalam kenyataan, hanya sebagian kecil lulusan SMK yang benar-benar memiliki persiapan untuk kerja. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan SMK selama ini belum sepenuhnya relevan dengan dunia kerja. Di SMK, tantangan utama yang diihadapi pelita V adalah peningkatan mutu dan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
E. Pendidikan Tinggi
Baik PTN maupun PTS sama-sama menghadapi tantangan mengenai masih rendahnya proporsi mahasiswa yang mempelajari bidang teknologi dan MIPA ( Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ), sementara sebagian besar mahasiswa berada pada jurusan/progam studi ilmu-ilmu sosial dan pendidikan. Pembangunan nasional banyak memerlukan lulusan bidang MIPA dan tekologi.
Masih tingginya jumlah mahasiswa yang lambat dalam menyelesaikan studi merupakan tantangan lain yang dihadapi. Hai ini menunjukan bahwa efesiensi eksternal atau (relevansi) yang merupakan tantangan besar. Itulah sebabnya, peningkatan relevansi merupakan prioritas dalam pengembangan dalam pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia.
F. Pendidikan Luar Sekolah
Selama pelita V, di perkirakan sebanyak 5,3 juta warga masyarakat telah dibebaskan dari buta huruf. Hasilnya adalah semakin menurunnya jumlah masyarakat yang buta huruf.
G. Tantangan ,kendala dan peluang
Ada sejumlah tantangan yang di hadapi oleh pembangunan pendidikan Indonesia pada masa-masa selanjutnya, yaitu :
(a) Belum mempunyai pendidikan mengimbangi perubahan struktur ekonomi dari pertanian tradisional ke indrustri dan jasa,
(b) Masih rendahnya relevansi pendidikan,
(c) Masih rendah dan belum meratanya mutu pendidikan,
(d) Masih tingginya angka putus sekolah dan tinggal kelas yang mengakibatkan ketidakstabilan dalam penyelenggaraan pendidikan,
(e) Masih banyaknya kelompok untuk 10 tahun keatas yang buta huruf,
(f) Masih kurangnya peran serta dunia usaha dalam pendidikan.
(g) Ada kendala yang dihadapi dalam peningkatan kinerja pendidikan nasional, yaitu:
1. Dari pihak masyarakat, kendala tersebut adalah kemiskinan dan keterbelakangan yang berkaitan dengan masih rendah nya penghargaan akan pendidikan pada sebagian kelompok masyarakat,
2. Terbatasnya jumlah guru yang bermutu disamping penyebarannya yang tidak merata,
3. Terbatasnya sarana prasarana, dan
4. Manajemen sistem pendidikan yang belum secara terarah menuju peningkatan mutu,relevansi,dan efesiensi pendidikan
(h) Adapun peluang yang dimiliki oleh pendidikan nasional adalah:
1. Keberhasilan wajib belajar 6 tahun yang memberikan landasan bagi pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahu
2. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan ,
3. Semakin luasnya sarana komunikasi,
4. Semakin tersebar luasnya lembaga pendidikan negeri maupun swasta,
5. Adanya UU no 2/1989 tentang sistem pendidikan nasional yang memberikan landasan yang kokoh bagi pendidikan nasional.
Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap, berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional, serta mampu menjawab tantangan masa kin dan masa depan, pendidikan nasional dewasa ini terus ditata dan dikembangkan dengan meberikan prioritas pada aspek-aspek yang dipandang strategis bagi masa depan bangsa. Prioritas tersebut adalah pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang bersamaan dengan peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi pada semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
2.5. Pendidikan di Indonesia Dewasa Ini
Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap, pendidikan nasional dewasa ini terus ditata dan dikembangkan dengan memberikan prioritas pada aspek-aspek yang dipandang strategis bagi masa depan bangsa. Prioritas tersebut adalah wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun bersamaan dengan peningkatan mutu.
A. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Pada tanggal 2 Mei 1994 wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat SLTP mulai diprioritaskan. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun mempunyai dua tujuan utama. Pertama, meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi semua kelompok umur 7-15 tahun. Kedua, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga mencapai SLTP.
Peningkatan lamanya wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun memungkinkan peserta didik untuk lebih lama belajar di sekolah. Hal ini memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang dibutuhkan. Dengan adanya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, maka semua lulusan SD didorong untuk melanjutkan ke SMP. Sasaran-sasaran wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun adalah, pertama, meningkatkan angka partisipasi tingkat SMP. Kedua, meningkatkan jumlah lulusan SD/MI. Ketiga, tercapainya jumlah SD yang minimal berkualifikasi DII. Untuk menunjang tercapainya sasaran, dilakukan penambahan gedung sebanyak 3.000 unit dan 20.000 ruang kelas baru. Tantangan yang dihadapi oleh program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun memang lebih berat. Alasannya, pertama, hanya sekitar separuh dari kelompok umur 13-15 tahun yang berada di sekolah. Kedua, daya dukung sumber daya berupa dana, sarana dan tenaga yang dimiliki oleh Indonesia untuk pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Ketiga, guna menampung anak usia 13-15 tahun di SLTA diperlukan sarana, biaya, dan tenaga.
B. Pelaksanaan Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 diberlakukan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995. Kurikulum 1994 disusun dengan maksud agar proses pendidikan dapat selalu menyesuaikan diri dengan tantangan yang terus berkembang, sehingga mutu pendidikan akan semakin meningkat. Menyusul terjadinya reformasi, dilakukan kembali revisi atas Kurikulum 1994 dengan menata kembali struktur program yang kemudian dikenal dengan Kurikulum 1994 Yang Disempurnakan.
C. Pengadaan Buku Pelajaran
Pemerintah menyediakan buku paket sebagai buku teks pokok yang diadakan secara cuma-cuma kepada semua SD/MI di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta. Pengadaan buku paket bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan cara meningkatkan produksi dan distribusi buku yang lebih bermutu, menjamin ketersediaannya di kelas serta pemanfaatannya secara maksimal oleh guru dan siswa. Sementara untuk memenuhi kebutuhan buku teks pokok untuk SLTP, pemerintah menyediakan buku-buku tersebut yang diedarkan secara cuma-cuma ke semua sekolah. Pengadaan buku paket tersebut seluas mungkin mengundang kepedulian semua pihak khususnya mereka yang berkepentingan terhadap buku. Misalnya, orangtua , guru , kepala sekolah, pejabat pendidikan. Orangtua harus tau anaknya akan mendapat buku secara cuma-cuma. Guru dan kepala sekolah harus paham bahwa siswanya akan mendapat buku untuk setiap mata pelajaran dan buku itu harus digunakan di sekolah tersebut. Pejabat pendidikan juga harus mengetahui bahwa setiap sekolah wajib dapat buku baik negeri mau pun swasta.
D. Pembinaan Mutu Guru
Banyak faktor yang menentukan mutu pendidikan pada umumnya, yaitu mutu murid sendiri, sarana dan prasarana, dan juga guru. Mengenai peranan mutu guru, studi Balitbang Dikbud menyimpulkan bahwa ada korelasi antara tingkat pencapaian siswa dengan penguasaan guru dalam mata pelajaran, semakin tinggi penguasaan guru terhadap materi pelajaran, makin tinggi pula prestasi belajar siswa.
Kenyataan yang perlu dicermati berkaitan dengan guru ialah, pertama, pada SLTP dan SMA terdapat ketidaksesuaian antara bidang keahlian dengan mata pelajaran yang ditangani. Hal ini menuntut penanganan, karena akan menghambat peningkatan mutu. Kedua, rata-rata pendidikan guru masih harus ditingkatkan. Misal persyaratan minimal untuk guru SD adalah DII, SLTP minimal DIII, SMA minimal S1, dan sebagainya.
Kedua masalah itu harus ditangani secara serius karena akan berdampak pada mutu pendidikan yang dihasilkan. Secara umum mutu guru harus ditingkatkan, misal seminar-seminar dan penataran/pelatihan.
E. Pendidikan Menengah Umum
Agenda penting Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah meningkatkan daya tampung yang sejalan dengan peningkatan mutu dan efektivitas program pendidikan di SMU. Dengan demikian semakin tinggi angka partisipasi pada pendidikan dasar sebagai hasil dari pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Untuk mengatasi masalah tersebut, dilakukan upaya-upaya peningkatan daya tampung melalui pembangunan unit/gedung baru dan pembangunan ruang kelas baru. Idealnya semua SMU mampu menghasilkan lulusan bermutu tinggi yang menjadi masukan/input ke perguruan tinggi. Akan tetapi pada kenyataannya belum semua SMU mampu menghasilkan lulusan yang bermutu tinggi karena berbagai keterbatasan.
F. Pendidikan Menengah Kejuruan
Potensi SMK di indonesia sangat besar yang meliputi 4.092 SMK yang terdiri atas 726 SMK negeri dan 3.366 SMK swasta. Di SMK usaha-usaha untuk semakin mendekatkan sekolah dengan dunia kerja dilakukan secara intensif melalui model Pendidikan Sistem ganda (PSG) yang di mulai pada tahun 1994 PSG di SMK pada dasarnya menganut 2 prinsip :
1. Program pendidikan kejuruan di SMK merupakan program bersama (joint program) antara SMK dengan industri yang menjadi mitra sekolah melaksanakan PSG.
2. Program pendidikan kejuruan SMK dilaksanakan, yaitu sebagian di sekolah untuk teori dan praktek dasar, dan di industri untuk praktek ketrampilan industri untuk praktek ketrampilan produktif.
Pelaksanaan PSG di ikuti pula oleh penataan secara menyeluruh sistem pendidikan di SMK yang meliputi kurikulum, guru, sarana dan prasarana, dan kepemimpinan sekolah. Untuk lebih meningkatan peran dunia industri dalam pelaksanaan PSG, telah di bentuk Majelis Pendidikan Kejuruan ( MPK ) di tingkat nasional, provinsi dan sekolah. Sampai saat ini, PSG telah berjalan di semua SMK negeri dan SMK swasta dengan kualitas pelaksanaan yang berbeda
G. Pendidikan Tinggi
Upaya untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan tinggi, dosen disertai dengan pasca sarjana. Pada tahun 1994 sebanyak 22 PTN dan 39 PTS menyelenggarakan program Pascasarjana (S2) dengan jumlah mahasiswa sekitar 8ribu orang.Jumlah ini diproyeksikan untuk meningkat hingga mencapai 12 ribu mahasiswa pascasarjana.
Perkembngan lain yang perlu dicatat ialah berdirinya badan akreditasi Nasional Pergurun Tinggi (BAN-PT) pada tahun 1995 BAN-PT menandai babak baru dalam dunia pendidikan tinggi indonesia tugasnya ialah melakukan penilaian berkala terhadap perguruan tinggi yang meliputi kurikulum,mutu dan jumlah tenaga kependidikan,keadaan mahasiswa,pelaksanaan pendidikan ,sarana dan prasarana,kepegawaian,keuangan dan kerumah tanggaan.Berdasarkan hasil penilaian teressebut ditetapkan lah status akreditasi program study di perguruaan tinggi.Sebagai suatu badan yang independen,BAN-PT memikul tugas yang tidak ringan karena harus melakukan penilaian secara berkala dan berkesinambungan terhadap semu PT baik PTN maupun PTS
H. Agenda Agenda Ke Depan
Memasuki pergantian abad,yaitudari abad ke 20 ke abad 21 yang dikenal dengan milenium ke 3,pendidikan Indonesia dihadapkan padatantangan tantangan yang berat dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu.Dengan bertolak dari kemajuan kemajuan yang telah di capai sebelumnya,yang dikemukakan beberapa agenda pembangunan pendidikan di Indonesia untuk saat ini dan masa depan.
1. Penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dengan cara :
- Menambah jumlah gedung dan ruang kelas baru yang didekatkan dengan tempat tinggal.
- Memperkuat kelembagaan SLTP swasta agar pencapaian sasaran wajib belajar lebih meningkat
- Memperluas jangkauan SLTP terbuka melalui pembukaan SLTP SLTP terbuka baru dan menambah tempat kegiatan belajar (TKB)dan kejar paket B
- Meningkatkan peran serta masyarakat dan kesadaran orangtua dalam pelaksaan wajib belajar
2. Peningkatan daya tampung SLTA (SMU dan SMK) dan Perguruan Tinggi dengan dilaksanakannya wajib belajar9 tahun, maka jumlah lulusan SLTP akan semakin meningkat yang akan meumbuhkan kebutuhan yang lebih besar terhadap tersedianya pendidikan ke SLTA. Hal yang sama berlakunpada perguruan tinggi daya tampung perguruan tinggi khususnya PTN perlu terus dipacu untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan.
3. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan pada semua jalur perlu terus dilanjutkan mengingat tuntutan sektor-sektor pembangunan dan masyarakat terhadap pendidikan yang bermutu semakin besar dengan metode pengajaran yang perlu di tingkatkan engan cara peniingkatan mutu guru perlu ditangani secara lebih intensif dan pengelolaan sumber daya pendidikan yang tersedia lebih baik lagi.
4. Pemanfaatan sumberdaya pendidikan yang jumlahnya terbatas perlu dilanjutkan sehingga benar-benar dapat memberikan hasil yang maksimal terhadap pemerataan kesempatan, peningkatan mutu.
5. Pelaksanaan desentralisai pendidikan sejalan dengan undang-undang No.22/1999 tantang pemerintahan daerah akan membawa implikai yang lua pada model dan pola managemen pendidikan. Managemen pendidikan yang selama ini cenderung di ubah menjadi desentralistik dengan cara menyerahkan sebagian besar penanganan program-program pendidikan.